Negara dan Kapitalisme Pendidikan
Pendidikan merupakan landasan vital pembentuk karakter bangsa. Dibutuhkan manusia yang‘sadar’ akan haknya sebagai jiwa terdidik dengan moral serta perannya dalam kehidupan yangberadab. Hal tersebut yang kemudian mendorong terbentuknya elemen pendidikan secara formal olehpemerintah. Namun, seperti apa karakter didik yang terbentuk, bila pendidikan sebagai tujuan mulia sudah diwarnai oleh ‘kepentingan’
Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama halnya dengan kebutuhan papan, sandang, dan pangan. Bahkan dalam institusi yang terkecil seperti keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama.
Pada awal tahun 1972, ketika program life long education sedang disosialisasikan, kesadaran akan pembangunan manusia ini sudah disuarakan oleh Edgar Faure, Ketua The International Commission for Education Development, yang menekankan bahwa pendidikan adalah tugas negara yang paling penting. Sumberdaya manusia yang bermutu merupakan prasyarat dasar bagi terbentuknya peradaban yang baik. Sebaliknya, sumberdaya manusia yang buruk secara pasti akan melahirkan masyarakat yang buruk pula.
Untuk menghasilkan peradaban yang berkualitas maka di perlukan pembangunan pendidikan yang berkualitas pula, namun yang menjadi permasalahan sekarang yang timbul dalam system pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kualitas itu mahal, untuk mencapai pada pendidikan yang di harapkan masyarakat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan hanya orang yang berkantong tebal dan kaya yang dapat menkonsumsi pendidikan yang berkualitas sedangkan masyarakat yang mempeunyai kelas social rendahl tidak akan dapat menakses pendidikan yang notabena adalah kelompok masyarakat tertinggi di Indonesia, ironisnya pemerintah sebagi intitusi kenegaraan yang mempunyai fungsi mencerdaskan anak bangsa seakan lari dari tanggung jawabnya.
Berawal dari menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisi multidimensi yang terjadi Indonesia, terjadi inflasi ekonomi, pemerintah Indonesia mengalami defisit amggran yang mengarahkan pemerinta mau tidak mau harus mengikuti anjuran dari badan kapitalisme global yakni IMF dan Bank dunia, semua mekanisme yang dilakukakn aktor kapitalisme dan globalisasi tersebut sesuanggunya dilandaskan pada suatu ideology yang dikenal dengan pahan neoliberalisme. Paham ini menjadikan semua persoalan harus sesuai dengan mekanisme pasar, negara harus tidak mempunyai hak untuk mengatur mekanisme ekonomi yang berlangsung, menekankan negara untuk mencabut semua subsidi kepada rakyat karena dianggap tidaj seseuai dengan prinsip pasar bebas dan serta persaingan bebas.
Keputusan Indonesia untuk mengikuti anjuran dari organisasi kapitalisme dunia tersebut mendorong untuk melepaskan semua sector ekonomi pada pihak swasta, dan secara perlahan tapi pasti telah terjadi priivatisasi semua sesktor riel ekonomi yang semula di kuasai negara menjadi milik pihak swasta yang diperparah dengan masuknya pihak asing untuk menguasai semua perusahaan negara. Sehingga rakyat ini menjadi asing di negerinya sendiri.
Mekanisme pasar bebas yang di lakukan negara pada sector ekonomi secara tidak langsung juga merambat pada sector pendidikan, dunia pendidikan yang seharusnya menjadi nilai tranformasi yang luhur dalam mencerdaskan rakyat Indonesia telah berubah menjadi bahan komuditi yang di perjual belikan, alh-alih untuk menefektifkan peran lembaga pendidikan untuk lebih mandiri pamerintah telah mecabut subsidi pendidikan,, anggaran pendidikan yang di rekomendasikan Oleh UUD 45 sebesar 20 % yang diambil dari angggara belanja negara (APBN) belum terlaksana, bahkan untuk anggraan pendidikan 2006 pemerintah hanya menalokasikan 9.2 % dari semua total APBN, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak komitmen untuk memperbaiki sector pendidikan. Pemerintah terkesan melepas tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat lewat sector pendidikan, pemerintah telah lupa bahwa untuk memperbaiki ekonomi, di perlukan sumber daya manusia yang berkualitas dan hanya perbaikan pendidikanlah yang dapat menghasilkan kualitas manusia yang tinggi.
Privatisasi pendidikan
DUNIA pendidikan kita tidak pernah lepas dari masalah. Selalu muncul polemik, mulai dari nasib guru, gedung sekolah yang roboh, uang sekolah yang mahal, hingga masalah komersialisasi pendidikan, terutama di perguruan tinggi.
Ketika pendidikan dihargai sangat mahal, maka protes pun melayang dari berbagai pihak. Bagaimanapun, saat pendidikan mahal diterapkan, akan timbul rasa ketidakadilan dalam masyarakat, terutama bagi kaum papa.
Sebagai sebuah media pembebasan, pendidikan semestinya menjadi milik tiap anggota masyarakat tanpa kecuali. Negara harus menyediakan sarana-sarana pendidikan, termasuk memberikan subsidi memadai agar rakyat memperoleh kesempatan belajar. Tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memperhatikan pendidikan bagi mereka yang kurang secara finansial.
Menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi memberikan legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan privatisasi pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah kemudian diserahkan kepada pihak swasta.
Akibatnya, pendidikan menjadi barang mewah dan sulit dijangkau oleh mereka yang berkantong tipis. Biaya pendidikan untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) mulai dari Rp 45 juta hingga 1 miliar menjadi faktanya.
Privatisasi pendidikan dapat dilihat dari seberapa besar anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah. Bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tingkat privatisasi pendidikan di Indonesia merupakan yang tertinggi.
Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi.
Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang.
Kedua, privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi, kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus menyediakan pendidikan secara massal.
Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak.
Privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk mengenyam pendidikan.
Komersialisasi bukan solusi
Keadilan dalam memperoleh pendidikan di Indonesia memang belum merata. Padahal, dengan menempatkan pendidikan mahal akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai media pembebasan manusia dari cengkeraman kemiskinan.
Hal itu terjadi karena komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri. Selain itu, proses komersialisasi juga akan "meminggirkan" kalangan tak mampu tapi berbakat. Ini akan menyingkirkan mereka dalam pergaulan di perguruan tinggi yang kelak didominasi oleh anak-anak yang orang tuanya berduit. Universitas akan makin elitis, menyeramkan, dan eksklusif.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi badan hukum milik negara (BHMN) itu menjadi momok. Mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Mengapa di Indonesia tidak? Formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu.
Tidak bisa disangkal bahwa kontroversi komersialisasi pendidikan yang marak akhir-akhir ini merupakan salah satu kesalahan fatal negara dalam menangani masalah pendidikan. Mestinya, sebelum melepas beberapa perguruan tinggi dengan status BHMN, pemerintah lebih dulu menyiapkan rambu-rambu yang jelas agar tidak kebablasan.
Selain itu, pemerintah harus mempertegas arah regulasi pendidikan, termasuk mengembangkan jaminan sosial pendidikan untuk keluarga miskin secara melembaga dan berkelanjutan dengan tunjangan pendidikan, beasiswa, dan subsidi silang. Pemerintah harus berkomitmen untuk tetap ambil bagian dalam dunia pendidikan. Keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan cuci tangan pemerintah. Dengan komitmen dan manajemen profesional, dana pendidikan dapat dimobilisasi dari berbagai sumber.
Dengan kenyataan seperti ini, pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah sampai saat ini belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Jalur khusus yang sudah diterapkan oleh beberapa perguruan tinggi hanyalah salah satu bukti betapa jati diri kampus telah tereduksi dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan tempat bagi si miskin. Jika kecenderungan itu tidak dibendung, maka beberapa tahun nanti akan lahir sarjana-sarjana yang money ori
Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan (Melacak Akar Legalitas Privatisasi Pendidikan di Indonesia)
Rencana Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya"
KEMBALI kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945....
No response to “Membongkar dominasi dan hegemoni kapitalisme pendidikan & gagalnya peran negara”
Post a Comment
Terimakasih. sekali tangan terkepal, hilangkan ratapan tangis dimuka bumi