PMII PONOROGO

Mencari Artikel Di Blog PMII Ponorogo

Project proposal Bedah Buku


NU Studies
Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam
Dan Fundamentalisme Neo-Islam


Hantaran

“Subaltern”, rupanya wacana ini tak pernah hadir dalam komunitas formal-elitis. Adalah wacana yang berangkat dari komunitas pinggiran, demikian awalnya. Subaltern kerapkali mewarnai dinamika kehidupan rakyat Indonesia, yang berangkat dari persinggungan antar subyek. Lantas wacana ini berawal dari interaksi budaya yang luput dari bekingan status ekonomi, politik dan budaya. Sehingga senantiasa terdistorsi oleh struktur wacana dominan, karena keberadaannya cuma ditengah lingkup cultural. Oleh karena itu, wacana dominan adalah wacana yang dibangun dari dominasi struktur. Dengan di topang oleh keunggulan (dominasi) ekonomi, politik dan budaya, secara praktis, wacana ini mengalami pengunggulan diri. Alasannya sederhana, wacana ini dibangun diatas fondasi formal-elitis, yang muncul di media cetak, media elektronik dan seminar ilmiah.
Sehingga posisi pun terpetakan. Logika berpikir jadi dualisme, dan dikotomis. Pertama. Wacana dominan menjadi sesuatu yang unggul dan sempurna. Hal ini disebabkan; wacana dominan berangkat dari sesuatu yang dapat diandalkan, lebih-lebih ketika ditopang oleh kekuatan politik, ekonomi dan budaya yang memiliki struktur tinggi. Lebih dari itu, wacana dominan juga mampu mendevinisikan kriteria yang layak-tidak, baik-buruk, moral-a moral, dan beradab dan tidak beradab. Kedua, Komunitas subaltern tidak menjadi sesuatu yang unggul, lantas menjadi sesuatu yang remeh. Sehingga senantiasa dikonotasikan dengan kekolotan, irasionalitas, amoral dan fundamental. Dalam logika culture studies, kontrakdiksi demikian tak dapat dihindari, dan ini akan menjadi pembeda antara “we” dan “the others”. Ini menjadi bukti, wacana dominan mampu sebagai kontrol devinisi dan menjadi penyelaras. Akhirnya yang “besar” semakin “besar”, yang “kecil” berangsur-angsur hilang.
Beralih pada khazanah pemikiran Islam, setting panggung tak jauh beda dengan diatas. Juga mengikuti strategi operasional wacana dominan dalam menciptakan dikotomi, dualisme dan berakhir dengan penyelarasan. Persinggungan dua kutub ini melahirkan binary oposision, yang senantiasa melahirkan devinisi, klasivikasi, dan karakter pemikiran Islam. Akibatnya, dalam kajian pemikiran Islam berpotensi melahirkan dikotomis, dan memang kondisi ini tak dapat dihindari. Sehingga mengantarkan pada pilihan antara jadi “fa’il” atau “maf’ul”, jadi subyek atau obyek.
Satu sisi, “perang melawan teroris”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan AS. Kontek lain sisi, gagasan “al-ghazw al-fikri” (invansi pemikiran) yang diusung oleh Islam kanan. Sehingga muncul tarik-menarik antara dua kutub ini, antara menjadi moderat-liberal atau menjadi fundamental-radikal.
Apabila jujur, selama ini belum ada upaya melawan, bukan secara represif, terror atau kekerasan terhadap wacana dominan. Namun dengan strategi yang lunak, rasional dan damai. Padahal eksistensi wacana subaltern senyatanya memiliki kekuatan memutar balik keadaan. Adalah dengan counter discourse terhadap wacana dominan, terutama ranah wacana pemikiran Islam yang selama ini menjadi lahan ekspolitasi dan komodifikasi.
Dalam kontek komodikasi dan penyeragaman seperti inilah, NU Studies hadir. Ia berusaha keluar dari “dogma’ dikotomi yang dipaksakan oleh wacana imperial “perang melawan teroris”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang dilancarkan AS. Juga tidak terjebak pada wajah puritanisasi agama ala Saudi Arabiyah, dan pemurnian tatanan social-politik Indonesia. Lantas NU Studies hadir mengkomunikasikan dinamika kehidupan dengan perspektif agama, politik, ekonomi, dan kebangsaan. Dengan tanpa mengabaikan system nilai bangsa dan nalar kesejarahan Islam nusantara.
Strategi demikian dipicu oleh perspektif kebangsaan yang inklusif, sehingga mampu menciptakan dialog antar domain. Lantaran tidak mau terjebak pada trend pemikiran, NU Studies hadir dengan sikap kritis melihat fenomena, satu sisi. Juga tidak mau larut dalam konspirasi global “perang melawan teroris”, “benturan peradaban” dan “perang ide-ide” (war of ideas) yang di desain oleh barat, dikonteks sisi lainnya. Tetapi lebih menampilkan wajah ramah lingkungan dan khazanah kebangsaan, yang mampu mewujudkan diskursus rasional. Bukan fundamentalisme-radikalism, pun juga Liberalism.

Permasalahan Mendasar
Kenyataan komodifikasi dan penyeragaman terhadap agama, senantiasa melahirkan sikap reaksioner. Dualisme Neo-Liberal dan Fundamental-radikal senyatanya memberi ruang lebar terhadap penyeragaman dan komodifikasi agama. Pada poros Neo-liberal, karakter berpikir yang dibangun berdasar eksistensi individual, dan agama menjadi soal privat. Sedangkan poros Fundamental-Radikal, agama menjadi kekuatan yang tak dapat dipisahkan dari bangsa dan negara.
Kedua kutub tersebut sama-sama menampilkan penyeragaman cara berpikir, yang menyempalkan dari tradisi beragama dan kultur bangsa Indonesia. Satu kutub berkiblat ke-pusat neo-liberal di AS; sementara kutub lainnya berkiblat ke Saudi Arabia. Yang pertama berbicara liberalisme islam, dengan menggerus potensi kritis Islam sebagai agama populis dan pembebasan. Sementara yang terakhir berbicara tentang opemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial politik Indonesia, dengan mengabaikan bahwa “kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam”, dan bukan “orang Islam yang tinggal di Indonesia”.

Goal Program
“Membangun basis wacana atas pertarungan dua kutub, dan mencari titik alternative dengan pijak tradisi Aswaja, praksisi kebangsaan dan keindodesiaan, dan kritik poskolonial”

Out-Put Program
a. Terciptanya wacana alternative diatas kontradiksi Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal.
b. Dapat memberi pemahaman baru sekaligus menjadi frame perjuangan (arketip) sehingga memiliki karakter penafsiran agama yang selarah dengan sistem nilai kebangsaan.
c. Audience mampu mengimplementasikan seluruh pengetahuan dan gagasan dalam bentuk tindakan praksis sosial.




Narasumber
Ahmad Baso (Penulis Buku NU Studies)
Toha hamim (pembanding I)
Simon Philantropa (pembanding II)

Peserta
Peserta bedah buku ini akan diikuti oleh kalangan aktivis mahasiswa, LSM, Ormas tokoh masyarakat, pemerintah, dan masyarakat umun se-Surabaya.

Waktu & Tempat Pelaksanaan
Bedah buku ini dilaksanakan pada hari Rabu, 06 Febuari 2007 di Aula Museum NU Surabaya.

Pelaksana
Kegiatan ini dilaksanakan oleh panitia yang telah dibentuk oleh pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Tarbiyah Komisariat Besar Sunan Ampel Cabang Surabaya (sebagaimana terlampir)

Dana dan Sumber Dana
Kegiatan ini diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp. 5.500,000,- dengan rincian sebagaimana terlampir. Sedangkan Sumber Dana Kegiatan ini adalah :
1. Kas PMII Tarbiyah Kombes Sunan Ampel Cabang Surabaya
2. Stakeholder baik pemerintah maupun swasta
3. Sponsorship

Penutup
Demikian proposal kegiatan ini kami buat dengan besar harapan agar kegiatan ini bisa terlaksana secara lancar dan maksimal. Dimana tidak terlepas dari bantuan banyak pihak terkait yang turut mendukung terselenggaranya kegiatan ini.
Serta tak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang terkait pada kami dan atas bantuan dan dukungannya hingga terlaksananya kegiatan ini


No response to “Project proposal Bedah Buku”

Post a Comment

Terimakasih. sekali tangan terkepal, hilangkan ratapan tangis dimuka bumi

Membagi Pengetahuan

Bagi Sahabat-sahabat yang punya artikel, saran, Kegiatan, proposal dan ingin di muat di blog ini, harap mengirimkannya ke E-mail

Bergabung di Agen Pulsa Elektronik