PMII PONOROGO

Mencari Artikel Di Blog PMII Ponorogo

Perempuan Dan Poligami

PC PMII PO 05/06



Al-Qur'an sebagai kitab suci yang ajaran-ajarannya sebagian besar terdiri atas berbagai proposisi umum dan luas. Terutama yang bersifat etis dan bukan sebagai formulasi legalistik khusus. Salah satu sebab kekhususan tersebut dapat diketahui dari sejarah keberadaan turunnya Al-Qur'an yang berperan sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul ketika itu dan tentunya juga menggambarkan latar belakang masyarakat saat itu. Karena Al-Qur'an tidak menyediakan suatu 'kode hukum' yang mudah dipahami, maka lahirlah berbagai problem terhadap ketentuan hukum yang diberlakukan, karena semuanya bergantung pada penafsiran paraahli tafsir, termasuk di dalamnya masalah poligami.
Kebanyakan masyarakat salah paham tentang poligami, dengan asumsi bahwa poligami itu baru dikenal ketika Islam hadir di dunia ini. Bahkan pandangan ekstrim muncul bahwa Islam itu identik dengan poligami. Padahal berabad-abad jauh sebelum Islam datang, di berbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami yang tanpa batasan, berapa saja dikehendaki, sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suatu suku bisa memiliki puluhan bahkan ratusan isteri. Qasim Amin dalam bukunya "Tahrir al Mar'ah" mengatakan bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan poligami senantiasa mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan tersubordinat, maka poligami menjadi subur, sementara ketika masyarakat memandang perempuan sebagai mitra sejajar, maka poligami berkurang.
Kebiasaan poligami yang telah bembudaya di kalangan masyarakat ketika itu, khususnya di jazirah Arab, tidak begitu saja serta merta dihapus dan dihilangkan saat datangnya agama Islam yang disampaikan Muhammad SAW, akan tetapi dengan nmemberikan batasan sebagaimana banyak rakyat menjelaskannya. Poligami dengan batas maksimum empat isteri jelas tersurat dalam surat an-Nisa' 4:3, dan pada saat yang bersamaan Al-Qur'an memerintahkan para suami untuk berlaku adil kepada isteri-isteri tersebut.
Di sisi lain, dasar hukum poligami ini akan sangat jauh berbeda dengan perintah etis agar berbuat 'adil' kepada para isteri, maka muncul pertanyaan, "apakah ada sanksi hukum?", dan..." bagaimana mengukur nilai keadilan terhadap para isteri?".
Kelanjutan ayat tersebut merupakan salah satu jawaban, "apakah kalian tidak dapat berlaku adil, maka (kawinlah hanya dengan) seorang(Isteri). Yang demikian itu untuk mencegah kalian dari perbuatan dhalim". Jawaban yang lebih tegas terdapat pula pada surat an-Nisa' 4:129, yang artinya, "dan kalian tidak akan dapat berlaku adil meskipun kalian telah berusaha (cenderung ingin sekali)".
Dalam ajaran Islam sebuah perkawinan merupakan serangkaian perjanjian yang kokoh dan kuat yang dalam bahasa agama dikenal sebagai mitsaqa ghalidza yaitu perjanjian yang erat antara dua belah pihak (suami isteri) sebagaimana dinyatakan Tuhan di dalam firman-Nya surat an-Nisa' 4:21. Ayat ini menegaskan bahwa kehidupan bersama suami isteri haruslah bersikap dan berlaku baik. Di Indonesia kita mengenal adanya sighat ta'liq yang harus dibaca oleh suami dihadapan isteri dengan disaksikan.
Islam adalah sebuah agama yang memberikan petunjuk dengan menggariskan beberapa prinsip dan harus dipedomani, antara lain,

1. prinsip kebebasan memilih baik bagi laki-laki maupun perempuan,
sebagaimana disebutkan di dalam surat an-Nisa' 4:23, an-Nur 24:3
dan 26).
2. prinsip kasih sayang sebagaimana wujud tujuan diadakannya sebuah
perkawinan, hal ini telah dinyatakan Tuhan di dalam surat ar-Rum
31:21.
3. prinsip 'saling' melengkapi, melindungi, menghargai dan menghor
mati, sebagaimana disebutkan di dalam al-Baqarah 2:187, an-Nisa'
4:19.
Pada dasarnya, perkawinan bertujuan untuk menciptakan dan membina keluarga yang harmonis atau yangdikenal dalam agama sebagai kehidupan yang sakinah mawaddah wa rahmah (surat ar-Rum 31:21). Sementara nikah sirri atau nikah bawah tangan merupakan salah satu fenomena yang masih seringkali terjadi, dan sebagai suatu kehidupan suami isteri yang serba disembunyikan. Dalam hal ini agama Islam menyatakan sah bila memenuhi persyaratan, yaitu dengan dikuatkan adanya UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 bahwa perkawinan dianggap sah bila dilakukan sesuai dengan agamanya. Akan tetapi, di sisi lain, bahwa hukum nasional atau UU Perkawinan mengatur adanya pencatatan yang harus dilakukan pihak berwenang yaitu pengadilan atau KUA.
Perkawinan sirri atau 'gelap dan rahasia' ini, biasanya adalah karena perempuan mau dipoligami yaitu di mana seseorang yang masih sah sebagai suami/isteri menikah (lagi) tanpa sepengetahuan suami/isteri sah tersebut. Namanya saja sirri yang artinya dirahasiakan, sehingga perempuan sebagai isteri sirri ini pun setiap langkah aktifitasnya selalu dirahasiakan, tidak bisa sebebas perempuan layaknya isteri yang dinikahi dengan secara agama dan negara (UU).
Hal ini selalu saja menimpa dan merugikan perempuan sebagai istri bawah tangan. Istri yang dinikahi dengan secara sirri tersebut, secara hukum tidak dapat menuntut ke pengadilan apapun alasan atau permasalahannya. Lagi-lagi perempuian dirugikan.
Aturan poligami di Indonesia telah ditegaskan di dalam PP 10 Tahun 1983 dan kemudian dijabarkan pada PP No. 45 Tahun 1990, sangat disayangkan karena peraturan ini hanya diberlakukan bagi PNS (pegawai negeri sipil). Ini konon karena dilatarbelakangi untuk menjaga wibawa PNS dan dimaksudkan melindungi para isteri PNS pada masa UU tersebut dibuat. Namun kini ketika kaum perempuan sudah mulai mampu memilah dan memilih, untuk menciptakan sebuah keadilan dan ini adalah intisari nilai-nilai ajaran sebuah agama (Islam). Maka UU tersebut perlu ditinjau kembali dan dikaji karena di dalam UU tersebut, suami dibolehkan berpoligami dengan dua syarat, yang keduanya sangat bias gender, yaitu:

1. syarat alternatif; apabila isteri cacat badan, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. syarat komulatif; ada izin tertulis dari isteri, berlaku adil dan dapat memenuhi kebutuhan para isteri.
Pada syarat pertama dipahami, bila seorang isteri memenuhi kategori tersebut, yaitu cacat badan atau tidak dapat melahirkan keturunan maka suami dapat (boleh) melakukan/mengajukan poligami. Di sisi lain, apa yang harus dilakukan seorang isteri apabila sang suami masuk dalam syarat alternatif di atas, sementara poliandri dalam norma agama dan budaya tidak akan diperbolehkan.
Bila saja dicermati tiga point dalam persyaratan alternatif di atas, dengan jelas dapat dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini sangat bias. Seorang isteri yang cacat (tentunya cacat setelah perkawinan bisa jadi karena penyakit yang diderita atau karena musibah yang menimpanya) mengapa justru suami berpoligami di mana letak nilai-nilai dasar sebuah agama, sebagaimana yang ditujukan oleh Tuhan kepada para suami, pernyataan itu adalah wa 'asyiruhunna bil ma'ruf yang artinya "pergaulilah isteri-isteri anda dengan cara yang sebaik mungkin". Seorang istri yang tidak bisa melahirkan keturunan, menjadi pula sasaran sang suami untuk bisa berpoligami karena adanya UU ini. Siapakah sebenarnya yang mau untuk tidak dikaruniai anak setelah perkawinan? Bukankah karunia anak itu merupakan pemberian dari Yang Maha Pemberi? Tidak kah mungkin bahwasannya tidak hanya pada hukum perempuan saja yang mengalami kemandulan, tetapi juga kaum laki-laki bisa juga mandul. Sudahkah diperiksakan ke dokter kandungan?.
Demikian juga kebolehan kaum suami untuk berpoligami disebabkan karena perempuan atau isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Batasan apakah sebenarnya yang dikehendaki "tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri", sementara pada UU No.1 Perkawinan tahun 1974 di sana dinyatakan bahwa suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Di masa modern seperti sekarang ini, tidak sedikit karena tuntutan sebagai tugas dan karir memaksakan suami atau isteri harus berpisah (dalam beberapa hari/minggu bahkan bulan).
Solusi yang tampaknya layak dipertimbangkan adalah perlu adanya kajian lebih lanjut dan mendalam tentang hak istri dalam mengajukan perceraian dan tentunya dikuatkan dan diakui oleh perundang-undangan dalam kaitannya dengan syarat-syarat di atas.
Syarat kedua tampan lebih menonjolkan sisi etis daripada sisi hukum. Niat atau permohonan suami meminta izin tertulis kepada istri untuk berpoligami merupakan suatu hal yang menggambarkan adanya "tekanan' kepada istri dan suami (dengan mengatas namakan hukum PP.). Lebih lanjut kiranya tentang kata 'adil' sebagaimana dikemukakan di atas, belum ada perhitungan matematis ataupun ketentuan yang dapat mengkategorikan 'adil' dalam kaitannya dengan poligami, apalagi sanksi.
Di dalam kompilasi hukum Islam, aturan hukum yang dipakai umat Islam dalam hukum perdata beracara pada pasal 55 ayat 2 disebutkan syarat suami untuk dapat melakukan poligami adalah syarat utama yaitu;

* suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak -
anaknya.
* Adanya persetujuan istri
* Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anaknya.
Ironisnya pada pasal 59 dinyatakan, bahwa 'dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang dalam apsal 55 ayat 2 da 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan. Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Dari kalimat tersebut terlihat adanya ambivalensi hukum negara berkenaan dengan penyelenggaraan poligami. Di satu sisi persetujuan istri menjadi satu syarat, namun di sisi lain ada peluang dan kemungkinan penetapan pemberian izin yang diberikan oleh pengadilan agama. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan istri setujua tau tidak terhadap keputusan poligami yang dilakukan suami merupakan keputusan yang tidak mutlak dipertimbangkan. Sebagai subyek hukum menjadi tidak memiliki otoritas sebagai pihak yang berhak menuntut hukum dan masa depan hubungan suami istri.
Menurut saya, poligami bukanlah satu-satunya solusi di dalam permasalahan rumahtangga, bahkan justru menimbulkan permasalahan yang harus dicarikan solusinya. Data dari LBH APIK selama tiga tahun terakhir yang tercatat 58 orang perempuan mengadukan suami mereka menikah lagi tanpa seizin istri. Dari pengaduan tersebut dapat diidentifikasi pola atau modus poligami yaitu 21 orang menikah lagi dengan cara bawah tangan, 19 orang dengan memalsukan identitas. 4 orang suami secara resmi tanpa izin istri pertama dan 1 orang dengan mendapatkan izin secara paksa, sedangkan 10 orang suami menikah lagi tanpa diketahui caranya oleh istrinya. Ironisnya, sebagian besar suami tidak menyebutkan alasan, mengapa menikah lagi (47 orang).
Poligami melahirkan dampak tertentu bagi istri maupun anak. Berdasarkan pengaduan istri yang datang mengungkapkan bahwa dampak yang paling banyak dialami adalah istri tidak lagi diberi nafkah (37 orang), istri dikelantarkan atau ditinggalkan (23 orang), istri mengalami tekanan psikis (21 orang), istri dianiaya secara fisik (7 orang) dan diceraikan (6 orang).
Dan sampai saat ini, UU Perkawinan tersebut, masih dalam proses untuk mudah-mudahan dapat menjadi kenyataan terevisi, dengan tujuan dalam rangka menciptakan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga. Semoga!


No response to “Perempuan Dan Poligami”

Post a Comment

Terimakasih. sekali tangan terkepal, hilangkan ratapan tangis dimuka bumi

Membagi Pengetahuan

Bagi Sahabat-sahabat yang punya artikel, saran, Kegiatan, proposal dan ingin di muat di blog ini, harap mengirimkannya ke E-mail

Bergabung di Agen Pulsa Elektronik