Oleh sahabat aris
Pendidikan adalah sebuah proses pembangunan kerangka berpikir manusia sejak ia dilahirkan dari rahim ibunya. Pendidikan selalu berhubungan dengan proses transmisi pengetahuan, sikap, ketrampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi mudanya. Setiap masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada generasi penerusnya agar tradisi kebudayaannya tetap hidup dan dapat terus berkembang, hal itu bisa dilaksanakan salah satunya dengan melalui pendidikan. Selama ini mungkin banyak diantara kita yang mempertanyakan tentang kondisi pendidikan ditanah air, sudahkan pendidikan kita berperan dalam mengembangkan dan melestarikan kearifan local (local wisdom) yang ada didalam masyarakat? Mengapa negara kita mudah larut dan terbawa arus global yang berasal dari budaya luar?
Saat ini negara Indonesia telah mengalami masa kemerdekaan selama kurang lebih 62 tahun setelah proklamasi. Masa yang bisa dikatakan cukup matang dan dewasa dari segi umurnya, namun ternyata dari umur yang lebih dari setengah abad tersebut, belum mampu untuk membawa rakyatnya pada kemajuan kehidupan secara menyeluruh. Bangsa Indonesia belum mempunyai mentalitas sebagai negara unggulan dan survival ditiap kondisi, hal ini dapat dilihat dari kebudayaan bangsa Indonesia sekarang. Bangsa kita banyak mengadopsi budaya-budaya dari luar dan kurang memberi priviles dan prestise yang membanggakan bagi produk-produk local bangsa sendiri. Kearifan local yang semestinya menjadi rujukan dan tata aturan kelakuan dalam menjalankan kehidupan masyarakat banyak ditinggalkan oleh generasi bangsa.
Perubahan social masyarakat yang begitu cepat harusnya diimbangi oleh lembaga pendidikan yang cakap dan kreatif pula, agar siap untuk mengemban amanat yang dipikulnya. Disekolah, memang banyak mata pelajaran yang membicarakan mengenai Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, namun hal itu hanya sebatas indoktrinasi dan hafalan bagi para siswanya, belum menyentuh pada wilayah lapangan dan riil masyarakat. Sehingga dalam kehidupan kesehariannya mereka kurang memahami local genius yang ada didalam masyarakat dan mudah terbawa arus global yang berasal dari luar.
Dapat kita bayangkan! Betapa fenomenalnya kemajuan di negeri ini bila setiap generasi bangsa konsekuen dan konsisten dalam mengamalkan kearifan local dari daerahnya masing-masing. Sebab di negara Indonesia yang terkenal dengan semboyannya "Bhinneeka Tunggal Ika" yang memiliki kemajemukan dan kultur yang sangat bervariatif terdapat banyak budaya bangsa yang terpendam didalamnya. Keanekaragaman tersebut apabila oleh generasi muda dilestarikan dan dipertahankan, maka akan menjadi sumber kekuatan bagi negara yang sanggup untuk membawa kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Kita tentunya telah banyak mengenal pepatah-pepatah nasional yang bersumber dari kearifan local. Misalnya " gajah dipelupuk mata tidak tampak, tapi semut diseberang lautan tampak, " semakin merunduk semakin berisi" dimana tanah dipijak, disitu langit dijunjung" dan masih banyak pepatah daerah lainnya yang memberikan kontribusi bagi pengayaan kemajemukan bangsa. Dan apabila kearifan budaya tersebut melekat didalam jiwa dan mental setiap anak bangsa, maka negara akan mampu berdiri secara kokoh diatas keluhuran filosofi budaya bangsanya yang beranekaragam dan multikultur.
Hal itulah yang menjadi harapan para founding father pendiri negara ini, bahwa kekayaan budaya bangsa akan terus bertahan dan lestari ditengah mensporanya arus globalisasi disaat ini. Apabila hal itu dapat diterapkan, maka tesis yang telah dilontarkan oleh pemikir sekaligus sosiolog bernama Francis Fukuyama yang mengumandangkan tentang kemenangan kapitalisme dan berakhirnya sejarah masyarakat dunia, dalam bukunya yang fenomenal berjudul "The End of History and the Last Man" dapat kita counter secara bersama. Namun dalam realitasnya, hingga saat ini harapan dan cita-cita untuk terus mempertahankan kearifan local tersebut belum mampu terwujud. Ada beberapa factor yang merintangi dari perjalanan visi tersebut, salah satunya dapat kita lihat dari sejarah bangsa Indonesia itu sendiri, selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya bangsa Indonesia dijajah oleh bangsa asing, sehingga rakyat Indonesia mempunyai mentalitas pekerja bawahan yang menganggap bangsa asing sebagai atasan dan panutan dalam bertindak. Dan budaya warisan colonial ini ternyata belum mampu ditinggalkan oleh bangsa Indonesia, sehingga rakyat Indonesia mempunyai mentalitas pasif dan kurang progressif dalam bersikap.
Dalam mengembangkan dan melestarikan kebudayaan local, kita patut mengambil sample dari Negara China dan Negara Jepang. Kedua Negara tersebut termasuk kedalam jajaran Negara maju dan modern, namun dengan kemajuan dan kemodernan yang dimilikinya, mereka mampu mempertahankan budaya local yang dimiliki negaranya dan berani untuk menunjukkan ciri khas dari budayanya masing-masing. Maka dari itu, sangatlah pantas bila kita mau bercermin dari negara Jepang dan dari negara China, bahwasannya keberadaan budaya local harus tetap dipertahankan karena menjadi ciri khas dan sumber inspirasi bagi negara yang memilikinya.
Masyarakat Indonesia harus memahami bahwa demokrasi yang dijalankan oleh bangsa barat berbeda dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa timur. Demokrasi yang diaplikasikan oleh bangsa barat adalah demokrasi liberal, cenderung individual dan kurang menghargai kebersamaan masyarakat. Berbeda dengan demokrasi yang dijalankan oleh bangsa Indonesia, bangsa Indonesia menerapkan demokrasi pancasila yang memberikan kesempatan bagi kelompok masyarakat/sipil untuk berkembang sesuai dengan budaya masing-masing dan hal itulah yang akan menjadikan negara Indonesia menjadi kaya dan beraneka ragam budaya didalamnya .
Dan akan menjadi sangat paradoks dan ironis apa abila generasi muda mulai meninggalkan dan acuh tak acuh terhadap kearifan local yang ada pada bangsanya sendiri, dan ketidak kesadaran tentang urgensnya mempertahankan kearifan local ternyata banyak didukung oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan kepentingan pragmatis saja. Setiap hari kita menemui tayangan-tayangan di media televisi yang menampilkan perilaku yang bertentangan dengan budaya-budaya masyarakat timur, dan tayangan tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar bagi orang yang menontonnya dan mereka secara tidak sadar terpengaruh untuk mengadopsi budaya tersebut dan kurang melakukan filter terhadapnya. Dan apa yang dilakukan oleh media massa tersebut menurut Tester (1994) sangat bertentangan dengan fungsi dari media masa itu sendiri, menurutnya media massa berfungsi untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai what is to be right and wrong, maksudnya media menjadi saluran bagi individu untuk sadar dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku dan beredar dimasyarakat sebagai tugas moral (moral duties), bukan untuk memberikan kepada masyarakat konsumsi wacana yang mengarahkan kepada false consiousness (kesadaran semu) yang tidak sesuai dengan ideology dan nilai-nilai budaya yang ada didalam masyarakat, Sehingga disini peran pengatur kebijakan atau pemerintah sangat penting, bagaimana mereka mampu untuk mengendalikan media massa khususnya televisi agar memberikan penayangan yang tepat dan sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia.
Apabila fenomena tersebut terus berlanjut, maka kearifan lokal yang banyak berisikan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan dan sikap ketauladanan lainnya, lambat laun akan terkikis dari lingkungan budaya masyarakat. Visi dan ideologi pembangunan kenegaraan yang lebih mendepankan pertumbuhan ekonomi, perkembangan fisik, dan material dibandingkan dengan nilai spritualitas dan kearifan lokal (local wisdom) dipropaganda oleh mesin-mesin negara, dalam banyak hal mempengaruhi cara berfikir dan bertindak sebagaian besar anggota masyarakat. Kini keberhasilan dan kesuksesan seorang tokoh masyarakat (public figure) tidak lagi diukur sejauh mana peran sosialnya dan pengabdiannya di tengah masyarakat, tapi kekayaan yang dimilikinyalah yang menjadi tolok ukur. Masyarakat dalam banyak hal kini sudah teracuni oleh modernisme budaya konsumtif, egois dan praktek menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Nilai-nilai kemodernan itu telah mulai menggeser mozaik local masyarakat pribumi. Benturan nilai itu tidak jarang membuat masyarakat mulai mengalami krisis identitas, dan apabila krisis itu berlanjut maka akan dapat mengakibatkan hilangnya budaya bangsa dan krisis multidimensi yang akut dan kronis.
Masyarakat kita saat ini secara umum seperti mengalami myopi (rabun jauh), yaitu masih berkutat pada kebutuhan pragmatis sesaat saja, kurang mampu memahami setiap hal secara menyeluruh dan komprehensif serta tidak mempunyai orientasi pada fungsi dimasa depan. Dan apabila penyakit ini tidak segera diberikan "panacea" (obat yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit) secara cepat, maka krisis identitas bangsa dapat mungkin benar-benar terjadi dikemudian hari. Dan yang paling utama adalah usaha untuk melakukan rejuvenasi (meremajakan kembali ide-ide dan potensi kearifan lokal) harus tetap kita lakukan demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republic Indonesia (NKRI) dimasa kini maupun yang akan datang
No response to “Pendidikan”
Post a Comment
Terimakasih. sekali tangan terkepal, hilangkan ratapan tangis dimuka bumi